Kamis, 29 Mei 2008

10 TAHUN REFORMASI

SEDIKIT RANGKUMAN 10 TAHUN REFORMASI DI INDONESIA

Bulan Mei tahun 2008 ini, genap sudah satu dasawarsa reformasi hidup dan berlangsung di negara ini. Rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto telah berakhir. Rakyat semakin sadar untuk turut serta bersama-sama secara terbuka membangun Indonesia ke arah yang lebih baik.

Dimulai dengan harapan untuk melakukan perbaikan birokrasi pemerintah. Dalam kurun waktu 10 tahun ini, telah terjadi 2 kali pemilihan umum parlemen, 1 kali pemilihan presiden secara langsung, dan telah terjadi 4 kali pergantian puncak kepemimpinan di negara ini. Namun tampaknya hal itu belum cukup untuk membawa derajat kehidupan bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Dua tahun pemerintahan Habibie yang dianggap tidak legitimate, barangkali memang belum sempat melakukan perbaikan yang berarti. Kemudian selama pemerintahan Abdurahman Wahid, perbaikan itu juga belum bisa menciptakan birokrasi pemerintah yang mantap, bahkan cenderung semakin mengkhawatirkan. Demikian pula semenjak Megawati mengambil alih kepemimpinan, reformasi birokrasi itu tidak menunjukkan gejala perbaikan. Kelembagaan birokrasi pemerintah semakin transparan dalam melakukan korupsi, dan akuntabilitas publik menjadi pertanyaan besar. Dan terakhir, rakyat Indonesia secara langsung telah memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kepala negaranya dengan harapan mampu untuk membawa Indonesia keluar dari kesulitan-kesulitannya.

Perbaikan tersebut mengacu kepada usaha pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Belum banyak perbaikan yang bisa dirasakan. Krisis ini seharusnya dihadapi dengan kebijakan penghematan, efisiensi dan rasionalitas semua kebijakan, program kerja dan kegiatan dari lembaga birokrasi pemerintah ini. Pada tahun-tahun awal reformasi, penghematan ini jauh dari harapan. Struktur kelembagaan birokrasi pemerintah masih menunjukkan lembaga yang besar dan tidak efisien. Kemudian didukung oleh para pejabat yang pada gilirannya membelanjakan anggaran belanja pemerintah yang cukup besar. Kebiasaan pergi ke luar negeri (yang katanya untuk melakukan studi banding) dalam suasana negara yang krisis sepertinya tidak disadari.

Reformasi tampaknya hanya berhasil untuk membuat para elit-elit politik, wakil rakyat dan pejabat menjadi lebih pandai untuk menghamburkan, menghabiskan dan mengkorupsi harta milik rakyat. Namun tidak memberikan dampak yang nyata bagi perubahan kesejahteraan rakyat Indonesia. Reformasi berjalan, krisis ekonomi berlanjut, perubahan tak kunjung datang. Mungkin kondisi inilah yang hingga saat ini terjadi di Indonesia.

Belum lagi masalah hutang luar negeri Negara.. Selain termasuk ke dalam kelompok negara-negara miskin yang terjebak utang, terhitung sejak mengalami krisis moneter pada pertengahan 1997, Indonesia kini praktis berada di bawah penaklukan negara-negara kaya melalui tangan IMF. Memang hutang indonesia kepada IMF telah lunas pada tahun 2006. Namun dengan memahami hutang luar negeri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kapitalisme, maka harus kita sadari bahwa sesungguhnya negara ini belumlah merdeka secara utuh. Bangsa Indonesia masih terjajah, namun dengan gaya atau model yang berbeda dari penjajahan zaman dulu

Indonesia secara terselubung takluk kepada sistem neoliberalisme yang dibentuk oleh negara-negara kaya tersebut. Ketika UU ketenagakerjaan akan direvisi dengan alasan untuk mendorong program kebijakan insentif demi mendukung iklim investasi yang lebih kondusif menuju pertumbuhan ekonomi nasional, ternyata hal tersebut berdasarkan atas derasnya tuntutan investor asing yang menganggap UU itu tak menarik bagi mereka. Investor menganggap UU Ketenagakerjaan Indonesia kalah menarik dari China dan Vietnam.

Sehingga pemerintah berusaha menarik minat investor dengan memberikan beberapa kemudahan yang ditujukan untuk memangkas biaya tenaga kerja (labour cost) serendah-rendahnya. Seperti kenaikan standar upah yang sebelumnya terjadi setiap tahun diubah menjadi setiap dua tahun, sistem kerja kontrak yang sebelumnya hanya berlaku untuk jenis pekerjaan tertentu diubah menjadi untuk seluruh jenis pekerjaan, sistem outsourcing yang dilegalkan sepenuhnya, pesangon yang dipangkas, prosedur PHK yang dipermudah, dan hak kebebasan berserikat yang dimandulkan. Buruh hanya dianggap sekadar komoditas, dan UU dipandang kurang protektif terhadap para pekerja bahkan menguntungkan pihak pengusaha.

Kondisi tenaga kerja di Indonesia pun akhirnya dihadapkan pada soal hidup mati yaitu PHK dan rendahnya nilai upah buruh. Adanya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi dan ditambah dengan semakin membeludaknya para pencari kerja dari desa ke kota, kemungkinan peningkatan angka penganguran terbuka luas

Nasib petani pun dari hari- kehari semakin tidak menentu. Kesejahteraan petani relatif rendah dan menurun. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya:


  1. Sebagian besar petani miskin merupakan buruh tani yang memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaganya.


  2. Kepemilikan luas lahan petani yang sempit.


  3. Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan


  4. Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik


  5. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai


  6. Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah


  7. Ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani sendiri.
Hal ini menciptakan kondisi diamana petani menjadi bagian dari rakyat miskin Indonesia.

Bahkan tercatat hingga tahun 2007, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai angka 47, 97 juta orang. Akhir-akhir ini sering terdengar munculnya wilayah rawan pangan, beragam peristiwa busung lapar dan gizi buruk di beberapa daerah. Sebuah kenyataan yang sangat ironis dan memilukan untuk kondisi negara Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang terbentang dari sabang ke merauke.

Beberapa waktu terakhir ini, pemerintah berencana untuk menaikkan harga BBM.. Harga minyak mentah dunia saat ini memang sedang mengalami kenaikan. Pemerintah merasa tidak memiliki dana angggaran yang cukup untuk mensubsidi BBM. Rencana pemerintah ini telah menuai penolakan dari banyak elemen masyarakat. Selama beberapa hari kebelakang di beberapa daerah, Mahasiswa, pekerja buruh, petani dan masyarakat miskin bersama-sama turun ke jalan untuk meneriakkan tuntutan mereka Bahkan di Jakarta, hampir setiap hari mahasiswa melakukan demo (yang tidak jarang berujung pada kerusuhan) untuk menolak kebijakan pemerintah tersebut. Mahasiswa mengajukan 7 tuntutan rakyat kepada pemerintah,yang salah satu isinya adalah agar pemerintah tidak jadi untuk menaikkan harga BBM. Namun tampaknya jeritan masyarakat tersebut hanya dianggap angin lalu saja oleh pemerintah. Faktanya tanggal 24 Mei 2008 pukul 00.00 WIB, pemerintah ternyata telah memutuskan untuk tetap menaikkan harga BBM sebesar 30 %.

Kemudian pemerintah pun merencanakan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dimaksudkan sebagai Jaring Pengaman Sosial (JPS) atas dampak kenaikkan BBM. Program ini menghabiskan dana sebesar 14 triliun rupiah yang berasal dari sisa penghematan anggaran negara yang dilakukan oleh pemerintah yang salah satu sumbernya berasal dari pemangkasan subsidi BBM. Sehingga subsidi yang selama ini diberikan, dapat juga dirasakan oleh rakyat miskin dalam bentuk pemberian BLT ini. Program BLT (Bantuan Langsung Tunai) ini akan diberikan secara berkala dalam kurun waktu selama beberapa bulan, sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) per keluarga miskin yang terdaftar sebagai penerima bantuan ini.

Banyak Pihak yang kurang setuju dengan pemberian bantuan kepada rakyat miskin ini. Salah satunya adalah mengenai faktor keakuratan data pemerintah dalam pembagian BLT. Di beberapa daerah, terjadi penolakan secara langsung dari aparat pemerintahan terendah yaitu ketua RT/RW. Dalam pemberian bantuan BLT, pemerintah hanya akan menggunakan data rakyat miskin tahun 2005 yang dikeluarkan oleh BPS (Biro Pusat Statistik) tidak lebih dan tidak kurang. Sehingga warga yang mereka rekomendasikan sebagai rakyat miskin tidak akan memperoleh bantuan ini, hanya karena semata-mata mereka tidak terdaftar di dalam data itu. Padahal dalam kenyataannya ketua RT/RW inilah yang mengetahui secara lebih pasti siapa-siapa saja dari warganya yang tergolong sebagai rakyat miskin yang memang benar-benar memerlukan bantuan ini.

Secara rasionalitas tentu kita bisa berfikir, apalah arti sejumlah uang sebesar seratus ribu rupiah jika harga barang-barang kebutuhan hidup juga meningkat. Apakah seratus ribu rupiah itu bisa mencukupi kebutuhan sebuah keluarga miskin selama satu bulan? Apakah dengan pemberian bantuan ini, rakyat dapat lepas dari jurang kemiskinan? Bukankah lebih baik jika pemerintah berusaha untuk membuka lapangan kerja yang lebih luas kepada rakyatnya. Sehingga rakyat dapat memperoleh kesempatan kerja yang lebih besar dan nafkah yang lebih baik serta derajat kehidupan pun secara bertahap menjadi meningkat. Dengan adanya pemberian BLT ini pemerintah seperti mengajarkan kepada rakyatnya budaya individu-individu malas. Rakyat diberikan sejumlah uang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa bekerja keras.

Kita patut bertanya, apakah pemerintah tidak memperkirakan kenaikan harga barang-barang kebutuhan lainnya bila pemerintah tetap melaksanakan rencana kenaikan harga BBM? Apakah pemerintah tidak memikirkan nasib rakyatnya sudah berada dalam kemiskinan? Apakah pemberian BLT tersebut dapat tepat sasaran dan tepat guna bagi rakyat miskin? Bagaimana bangsa ini bisa maju? Bagaimana bangsa ini bisa keluar dari jurang kemiskinan?

Bukankah hal ini hanya akan menimbulkan keluhan-keluhan dari masyarakat karena ketidakmampuan daya beli mereka dalam menghadapi kenaikan harga barang kebutuhan Haruskah kondisi ini menjadi keseharian hidup masyarakat yang akhirnya hanya akan menempatkan mereka dalam lilitan jerat-jerat kemiskinan. Selama 10 tahun reformasi, bangsa kita ternyata belum bisa keluar dari permasalahannya. Krisis di negara ini belum selesai dan masih hidup serta terjadi dalam dimensi yang berbeda Pemerintah harus berusaha lebih bijak dan arif serta adil dalam memimpin dan membangun negara ini. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seharusnya lebih berpihak kepada nasib dan kepentingan rakyat Indonesia.

* Dari berbagai sumber

Donx saturniev -- Mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Lampung tingkat akhir
( yang belum juga bisa lepas dari jeratan perkuliahan. Huahahahaa………. )
Bandar Lampung, Mei 2008