Sabtu, 16 Oktober 2010

Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana




1. Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan

Aturan umum delik aduan, Pasal 72-75
Aturan khusus delik aduan
         Pasal 284 (perzinahan)
         Pasal 332 (melarikan wanita)

2. Dituntut untuk kedua kalinya (Ne bis in idem)

Pasal 76:
a.  telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
b.  orang terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama
c.   perbuatan yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu

3. Matinya terdakwa (Pasal 77)

4. Daluwarsa (Pasal 78)
a. pelanggaran dan kejahatan percetakan à 1 tahun
b. kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 tahun à 6 tahun
c. kejahatan yang diancam pidana penjara >3 tahun à 12 tahun
d. kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup à 18 tahun

5. Ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (Pasal 82).

6.         Abolisi atau amnesti 



Sedangkan Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana

1. Matinya terdakwa (Pasal 83)
2. Daluwarsa (Pasal 84-85)
a.    pelanggaran à 2 tahun
b.   kejahatan percetakan à 5 tahun
c.    kejahatan lainnya = daluwarsa penuntutan ditambah 1/3
d.   pidana mati tidak ada daluwarsa
3. Grasi

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia


Suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.

Alasan :
-        politis
-        sosiologis
-        praktis
-        adaptif


Aspek Pembaharuan Hukum Pidana :

1. Struktur/Perangkat Hukum Pidana (Legal Structure Reform)
          kepolisian
          kejaksaan
          kehakiman
          advokat
          sipir LP, dll

2. Materi Hukum Pidana (Criminal Law Reform)
         hukum pidana materiel
         hukum pidana formil
         hukum pelaksanaan pidana

3. Kultur Hukum (Legal Culture Reform)
         ilmu hukum pidana (criminal science reform)
         perilaku hukum masyarakat

Penafsiran Dalam Hukum Pidana (9) Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran)

Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran) 

Suatu cara menafsirkan UU yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal UU. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.

Penafsiran ini diterangkan oleh Satochid Kartanegara bahwa ”keadaan ini kita jumpai apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi disamping itu tedapat pula hal-hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak diatur denagan tegas oleh UU, sedang hal-hal ini tidak diliputi oleh UU yang mengatur hal-hal tegas ini (lihat Pasal 285 KUHP).

Penafsiran Dalam Hukum Pidana (8) Penafsiran Esktensip

Penafsiran Esktensip

Memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”. Jadi, penafisran ekstensif didasarkan makna norma itu menurut keadaan yang sekarang yang atinya ada perubahan makna dari sesuatu pengertian unsur-unsur rumusan atau umusan suatu norma (hampir sama dengan analogi).

Penafsiran Dalam Hukum Pidana (7) Penafsiran Analogis

Penafsiran Analogis

Penafsiran Analogis memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya  tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut (ada rasio persamannya kejadian konkretnya terhadap noma-noma tesebut). 

Misalnya pasal 388 ayat (1) yang melarang oang melakukan pebuatan curang pada waktu menyerahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang dapat membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak ada diatur keperluan angkatan udara. 

Tetapi dengan menggunakan penafsirang analogis, maka jika terjadinya menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat dikenakan karena pada dasar fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas angkatan udara yaitu dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara.


Penafsiran Dalam Hukum Pidana (6) Penafsiran Teleologis (Teleologische Interpretatie)

Penafsiran Teleologis (Teleologische Interpretatie)

Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan UU itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi UU tetap sama saja. Contoh pada saat masih berlakunya UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (dicabut dengan UU No. 26 tahun 1999), di dalam menafsirkan rumusan yang ada dalam UU itu mengenai suatu kasus tertentu, selalu didasarkan pada maksud dari pembentuk UU itu, yaitu untuk memberantas setiap perbuatan atau upaya-upaya yang menggangu dan menggoyang kelangsungan dan atau kestabilan kekuasaan pemerintahan negara ketika itu.


Penafsiran Dalam Hukum Pidana (5) Penafsiran Logis (Logische Interpretatie)

Penafsiran Logis (Logische Interpretatie)

Adalah suatu macam penafsiran dengan cara menyelidiki untuk mencari maksud sebenarnya dari dibentuknya suatu rumusan norma dalam UU dengan menghubungkannya (mencari hubungannya) denagan rumusan norma yang lain atau dengan undang-undang yang lain yang masih ada sangkut-pautnya dengan rumusan norma tersebut (lihat pasal 55 KUHP).

Penafsiran Dalam Hukum Pidana (4) Penafsiran Sistematis/Dogmatis

Penafsiran sistematis/dogmatis (systematische interpretatie)

Penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu maupun dengan UU yang lainnya misalnya ”ketentuan paling menguntungkan” dalam rumusan ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang merumuskan ”suatu perbuatan dapat dipidana keculai bedasarkan kekuatan ketentuan peundang-undangan pidana yang telah ada, pengetiannya adalah suatu ketentuan tentang tidak dapat dipidanya perbuatan. 

Artinya semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian menurut ketentuan yang baru menjadi tidak dapat dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan poidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang dibelakukan adalah UU pidana bau yang menguntungkan

Penafsiran Dalam Hukum Pidana (3) Penafsiran Historis

Penafsiran historis (historiche interpretatie)

1) Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU, memori tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-pandangan umum, dll

2) Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP

Jumat, 15 Oktober 2010

Penafsiran Dalam Hukum Pidana (2) Penafsiran Tata Bahasa

Penafsiran Tata Bahasa (gramaticale interpretatie)

Disebut juga penafsiran menurut atau atas dasar bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan. 

Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya, dengan cara mencari pengertian yang sebenarnya menurut bahasa sehar-hari yang digunakan masyarakat yang bersangkutan.

Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang memarkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu.

Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kendaraan” itu, Apakah hanya kendaraan bermotor saja ataukah termasuk juga sepeda.

Contoh lain kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432 KUHP secara gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam pasal 305 KUHP diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”.


Penafsiran Dalam Hukum Pidana (1) Penafsiran Autentik


Penafsiran Autentik

Penafsiran autentik (resmi), ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan pasal demi pasal,  misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP Buku I Titel IX).

Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara resmi dalam undang-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memberikan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penejelasan pasal demi pasal.

PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA

Dalam hal berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya penafsiran (interpretatie) karena hal-hal sebagai berikut :
  1. Hukum tertulis sering tidak dapat mengikuti arus perkembangan masyarakat yang berubah baik hal-hal yang dianutnya dan nilai-nilai yang digunakan untuk mengukur segala sesuatu, misalnya tentang rasa keadilan masyarakat. Hukum tertulis bersifat kaku, tidak dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat. Oleh karena itu, hukum selalu ketinggalan. Untuk mengkuti perkembangan itu, dalam praktiknya sering menggunakan suatu penafsiran.
  2. Ketika hukum tertulis dibentuk, ada hal-hal yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk undang-undang. Namun setelah undang-undang dibentuk dan dijalankan, baru muncul persoalan mengenai hal-hal yang tidak diatur tadi. Untuk memenuhi kebutuhan hukum dan mengisi kekosongan norma semacam ini, dalam keadaan yang mendesak dapat menggunakan suatu penafsiran.
  3. Keterangan yang menjelaskan arti beberapa istilah atau kata dalam undang-undang itu sendiri (Bab IX Buku I KUHP) tidak mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata penting dalam pasal-pasal perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya rumusan ketentuan hukum pidana. Pembentuk undang-undnag memberikan penjelasan hanyalah pada istilah atau unsur yang benar-benar ketika undnag-undang dibentuk dianggap sangat penting, ssuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan. Dalam banyak hal, pembentuk undang-undang menyerahkan pada perkembangan praktik melalui penafsiran-penafsiran hakim. Oleh karena itu, salah satu pekerjaan hakim dalam menerapkan hukum ialah melakukan penafsiran hukum.
  4. Sering suatu norma dirumuskan secara singkat dan bersifat sangat umum sehingga menjadi kurang jelas maksud dan artinya. Oleh karena itu, dalam menerapkan norma tadi akan menemukan kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan itu dilakukan dengan menafsirkan. Dalam hal ini hakim bertugas untuk menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya yang terkandung dalam norma tertulis. Contohnya dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP perihal unsur ”aturan yang paling menguntungkan terdakwa” mengandung ketidakjelasan arti dan maksud dari ”aturan yang paling menguntungkan. Hal tersebut dapat menimbulkan bermacam pendapat hukum dari kalangan ahli hukum. Timbulnya beragam pendapat seperti ini karena adanya penafsiran.
Perkembangan masyarakat dimana kebutuhan hukum dan rasa keadilan juga berubah sesuai denagan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, maka untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang dan dianut masyarakat tersebut, dalam praktik penerapan hukum diperlukan penafsiran.

Untuk (KUHP) tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana cara hakim untuk melakukan penafsiran. Cara-cara penafsiran ada dalam doktrin hukum pidana. Untuk melakukan penafsiran, cara yang akan digunakan diserahkan pada praktik hukum. Hanya saja terhadap suatu cara penafsiran telah terjadi perbedaan pendapat yaitu terhadap penggunaan penafsiran analogi, dimana ada sebagian pakar hukum yang keberatan berkaiatan dengan masalah asas legalitas tentang berlakunya hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.


Rabu, 13 Oktober 2010

Dasar penentuan perbuatan pidana

Dasar penentuan perbuatan pidana :

1. Asas legalitas;
suatu perbuatan pidana itu harus sudah diatur sebelumnya  sudah diatur dalam undang-undang. pasal 1 ayat (1) KUHP

2. Adanya kesalahan;
untuk memidana seseorang disamping melakukan perbuatan yang dilarang maka diperlukan adanya unsur  kesalahan,“Geen Straft Zonder Schuld” (tidak dipidana seseorang tanpa kesalahan)

3. Perbuatan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Delik

Secara sederhana delik dapat diartikan sebagai perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan di ancam oleh pidana

Dilihat dari  perumusannya, maka peristiwa pidana/delik dapat dibedakan dalam:
1. Delik formil.
Tekanan perumusan delik ml ialah sikap tindak atau perikelakuan yang dilarang tanpa merumuskan akibatnya.
Misalnya pasal 297 KUHP: “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.
2. Delik materiil.
Tekanan perumusan delik mi adalah akibat da suatu sikap tindak atau perikelakuan.
Misalnya pasal 359 KUHP : “Barang siapa karena kelalaiannya, menyebabkan matinya seseprang..”

Unsur-unsur perumusan delik, dibedakan dalam:
Delik dasar yang merumuskan suatu sikap tindak atau perilaku yang dilarang, misalnya pasal 338 KUHP yang menyatakan Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”;
Delik yang meringankan, yakni merumuskan sikap tindak yang karena suatu keadaan mendapat keringanan hukuman, misalnya pasal 341 KUHP, “Seorang ibu yang karena takut ketahuan melahirkan anak, membunuh anaknya tersebut”,
Delik yang memberatkan, yaltu merumuskan sikap tindak karena suatu keadaan diancam hukuman yang Iebih berat, misalnya pasal 340 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana tertebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu paling lama dua pulub tahun”.


Ruang Lingkup Hukum Pidana

Ruang Lingkup Hukum Pidana

Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan peristiwa pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab. Jadi unsur-unsur peristiw pidana, yaitu :
• Sikap tindak atau perikelakuan manusia;
• Masuk lingkup laku perumusan kaedah hukum pidana (pasal 1 ayat I KUHP) yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalalTi perundang undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan
• Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran
• Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan. 

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA 

Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.

Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting,   yaitu :
  1. Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP)
  2. Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)

lus Poenalle dan lus Puniendi


lus Poenalle
lus Poenalle ml merupakan hukum pidana dalam arti obyektif yang terdiri dari:
1. Hukum Pidana Materiil. Hukum Pidana Materill berisikan peraturan peratu ran tentang : perbuatan yang diancam derigan hukuman; mengatur pertanggungan jawab terbadap bukum pidana : bukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang-orang yan melakukan perbuatan yang bertentangan dengar undang-undang.
2. Hukum Pidana Formil.
Hukum Pidana Formil merupakan sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara negara mempergunakan haknya untuk mengadili serta memberikan putusan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindakan pidana.

lus Puniendi
Hukum Pidana dalam arti Subyektif
Hukum Pidana dalam arti subyektif, yang disebut juga “lus Puniendi”, yaltu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorung yang melakukan perbuatan yang dilarang”.


Tujuan Pidana dan Hukum Pidana

Tujuan Pidana

a. Pembalasan, terhadap

1) Subyek, kesalahan si pelaku
2) Obyek, perbuatan pelaku

b. preventif (pencegahan), untuk mempertahankan ketertiban masyarakat

1) umum (generale preventie), pencegahan terhadap masyarakat agar tidak melanggar ketertiban dengan cara memenjarakan agar takut. Menurut Anselm von Feuerbach, Psychologische zwang, pidana membuat menimbulkan paksaan atau tekanan psikologis adanya ancaman yang berat
2) khusus (speciale preventie), pencegahan agar si penjahat tidak mengulangi kejahatan

c.  respresif (medidik) atau perbaikan (verbetering), mendidik seseorang yang pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat.

d. Tidak berdaya (onschadelijk), penjahat yang tidak dapat diperbaiki lagi maka pidananya dapat bertujuan untuk menyingkirkan

e. Memperbaiki kerugian masyarakat, pidana untuk memperbaiki kerugian masyarakat pada masa yang lalu sebagai akibat perbuatan jahat.

f.  Gabungan, pidana membuat pembalasan dan mempertahankan ketertiban. 

Tujuan Pidana (Menurut literatur Inggris R3D) :
 
-   Reformation, yaitu memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Namun ini tidak menjamin karena masih banyak juga residivis. 
-   Restraint, yaitu mengasingkan pelanggar dari masyarakat sehingga timbul rasa aman masyarakat
-   Retribution, yaitu pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan 
-   Deterrence, yaitu menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensi menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukankejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Tujuan hukum pidana 
 
Sebagaimana dinyatakan oleh Tirtaamidjaja, bahwa tujuan hukum pidana
adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat. Tujuan ini merupakan tujuan
umum, yang jika dijabarkan lebih lanjut terdapat aliran yang berbeda.

a. Aliran klasik berpendapat bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Aliran ini muncul pertama kali saat hukum pidana modern dikenal dan dipengaruhi oleh sejarah Revolusi Perancis. Kasus Jean Calas te Toulouse yang dipidana mati karena dituduh membunuh anaknya sendiri, Mauriac Antoine Calas, menjadi dasar bagi Beccaria, JJ Rousseau, dan Montesquieu berpendapat agar kekuasaan raja dibatasi oleh hukum (pidana) tertulis.
b. Aliran modern mengajarkan tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Aliran modern ini mendapat pengaruh dari ilmu kriminologi 

Menurut para ahli tujuan hukum pidana adalah : 

1. Memenuhi rasa keadilan (WIRJONO PRODJODIKORO) 
2. Melindungi masyarakat (social defence) (TIRTA AMIDJAJA) 
3. Melindungi kepentingan individu (HAM) dan kepentingan masyarakat dengan negara (KANTER DAN SIANTURI) 
4. Menyelesaikan konflik (BARDA .N)

Jadi dapat disimpulkan tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat.



Macam-macam delik


Macam-macam delik

Delik atau Tindak Pidana ada 2 macam:

a. Delik Biasa yaitu delik atau tindak pidana yang bisa dituntut meskipun tanpa pengaduan dari si korban, misalnya pembunuhan, pencurian biasa, penculikan dsb.

b. Delik Aduan yaitu delik atau tindak pidana yang hanya bisa dituntut
apabila ada pengaduan dari si korban maupun keluarganya.; misalnya:
· pemerkosaan,
· pencurian dalam keluarga.

Hal ini mengingat kondisi spikologis dari si korban atau untuk melindungi kehormatan keluarga.

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA (7) Lex Specialis derogart legi Generali


Asas Hukum Pidana Khusus mengesampingkan Hukum Pidana UMUM (Lex Specialis derogart legi Generalis). ---- Lihat Ketentuan ps. 103 KUHP.

Artinya bahwa karena sumber hukum pidana ada dua jenis yaitu yang terkodifikasi dan yang tidak, dimana UU yang tidak terkodifikasi tersebar, maka jika ada seseorang yang melakukan perbuatan pidana seperti korupsi maka yang diberlakukan adalah UU Korupsi (lex spesialis), atau orang yang melakukan jual beli narkoba maka yang diberlakukan adalah UU Narkoba (lex spesialis bukan KUHP ).


ASAS-ASAS HUKUM PIDANA (6)


Asas Apabila ada perubahan dalam undang-undang setelah peristiwa itu terjadi maka dipakailah ketentuan yang paling menguntungkan bagi si tersangka. ---Lihak Ketentuan Ps. 1 ayat 2 KUHP.

Artinya bahwa jika pada saat perbuatan dilakukan kemudian terjadi perbuahan ketentuan UU maka UU yang memberikan ancaman hukum yang paling ringan yang akan diberlakukan oleh si tersangka.

Misalnya: seseorang disangka melakukan perbuatan korupsi pada tahun 1998 dan diancam hukuman oleh UU Nomor 3 tahun 1971 dengan ancaman hukuman 10 tahun, maka pada saat proses

1. Dalam unsur obyektif dijelaskan bahwa perbuatan tersebut harus memenuhi rumusan UU.

2. Jika terdapat alasan pembenar, maka perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang salah persidangan (Th 1999) tiba-tiba Pemerintah mengeluarkan UU baru tentang Korupsi yaitu UU Nomor 31 Tahun 1999 yang mengancam perbuatan tersebut dengan ancaman hukuman 20 tahun. Maka sesuai dengan asasnya dipakailah ketentuan yang paling ringan bagi terdakwa yaitu UU Nomor 3 Tahun 1971.


ASAS-ASAS HUKUM PIDANA (5) Asas Geen Straf Zonder Schuld


Asas Geen Straf Zonder Schuld (Asas Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan) 
 
Artinya tak seorangpun dapat dijatuhi pidana jika tidak ada kesalahan yang ia perbuat2. ---- Lihat Ketentuan Ps. 44 jo Pasal 45 KUHP.


Sumber Hukum Pidana di Indonesia


Sumber Hukum Pidana di Indonesia

a. Sumber hukum yang tertulis dan terkodifikasi  

Artinya tersusun dalam satu buku. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).  
Sistematika KUHP :
Buku I Ketentuan Umum (Pasal 1-103)
Buku II Kejahatan (Pasal 104-448)
Buku III (Pasal 449-669)

b. Sumber Hukum yang tertulis tidak terkodifikasi 

Artinya tersebar dalam peraturan PerUU-an yang lain

Misalnya :
• UU Korupsi (UU Nomor 31 tahun 1999)
• UU Psykotropika
• UU Narkoba
• UU Merek, Cipta, Paten dsb.


Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang aslinya berbahasa Belanda (Wetboek van Strafrecht). Berlaku di Indonesia sejak tahun 1946 (setelah kemerdekaan RI) dengan UU Nomor 1 Tahun 1946.Merupakan warisan kolonial Belanda yang diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918. Dapat dikatakan bahwa KUHP adalah hukum pidana umum karena berlaku bagi setiap orang.

Di samping hukum pidana umum, terdapat hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang mengatur golongan-golongan tertentu atau terkait dengan jenis-jenis tindak pidana tertentu. Sumber hukum pidana khusus di Indonesia di antaranya KUHP Militer, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur pidana di luar KUHP seperti UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 15/2002 jo. UU No. 25/2003), UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo. UU No.20/2001), UU Tindak Pidana Psikotropika (UU No. 5/1997), UU Tindak Pidana Narkotika (UU No. 22/1997), dan lain-lain.