Sabtu, 21 Agustus 2010

Unsur-unsur Hukum Pidana


Hukum pidana dapat didefinisikan sebagai keseluruhan peraturan yang isinya menunjukkan peristiwa
pidana yang disertai dengan ancaman hukuman pada penyelenggaranya.


Hukum Pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat.

Hukum pidana mempunyai keistimewaan yang sering dikatakan sebagai “Pedang Bermata Dua” artinya disatu sisi ia berusaha melindungi kepentingan orang lain (umum), namun di sisi lain ia menyerang kepentingan orang lain, yaitu dengan adanya hukuman yang dijatuhkan pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana.



Unsur-unsur Hukum Pidana:

a. Unsur Subyektif : harus ada orang atau pelaku ; dimana pelaku tersebut harus memenuhi syarat-syarat:

1. Bertanggung jawab

Sebab ada orang-orang yang hanya “bertanggungjawab sebagian” karena penyakit yang dideritanya, sehingga orang-orang tersebut dapat digolongkan menjadi orang-orang yang bertanggung jawab sebagian, misalnya:

a. Kliptomani adalah seseorang yang menderita penyakit suka mencuri.
Maksudnya ia tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh UU. Namun tindakan ini dilakukan semata-mata karena penyakitnya. Seorang Kliptoman tidak bertanggung jawab atas “pencurian” yang dilakukan, tetapi ia akan dimintai pertangungjawaban apabila melakukan tindak pidana lainya seperti membunuh, memperkosa dsb.

b. Pyromani adalah seseorang yang menderita penyakit kejiwaan suka membakar. 
Seorang pyromani tidak pernah menyadari bahwa perbuatan “membakar benda/ barang miliki orang lain” adalah suatu perbuatan pidana. Sehingga seorang pyromani tidak bertanggung jawab atas perbuatannya melakukan “pembakaran” , namun ia tetap bertangung jawab atas tindak pidana yang lainnya, misalnya mencuri, membunuh dsb.

c. Nympomani adalah seseorang yang menderita sakit kejiwaan suka berbuat tidak senonoh pada seorang wanita. 
Seorang nympomani tidak bertanggungjawab atas perbuatan “tidak senonoh” yang dilakukan, karena ia tidak menyadari bahwa perbuatan tersebut sesungguhnya dilarang oleh UU. Namun seorang nympomani tetap bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang lain, seperti merusak barang milik orang lain, membunuh, mencuri, dsb.

d. Claustrophobi adalah seseorang yang menderita penyakit kejiwaan dimana dia merasa ketakutan yang hebat apabila berada di ruang yang sempit. 
Seorang claustrphopie tidak bertanggungjawab apabila dia melakukan sutau perbuatan pidana, seperti merusak pintu untuk berusaha keluar di tempat yang sempit.

Catatan : Untuk menyakatan seseorang tidak bertangung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut di atas, maka tentunya harus ada surat keterangan ahli (Psykolog) yang menyatakan bahwa yang bersangkutan benar-benar menderita penyakit tersebut.

2. Tidak ada alasan pemaaf

Artinya bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan pidana namun karena suatu alasan tertentu, maka perbuatannya tersebut bisa dimaafkan.

Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah:
a. Gila
b. Belum dewasa/ belum cukup umur
c. Di bawah pengapuan.

Jadi apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut memenuhi salah satu alasan di atas, maka perbuatan tersebut bisa dimaafkan.

Menurut UU, anak yang belum dewasa melakukan suatu perbuatan pidana, ada “Tindakan Tata Tertib” yang akan dilakukan oleh negara antara lain:

a. Tetap menjalani pidana dengan ketentuan pidananya adalah maximal 1/3 dari pidana pokok yang diancamkan kepadanya. Misalnya: seorang anak usia 9 tahun melakukan pembunuhan (ps. 238 KUHP) yang ancaman hukumannya 20 tahun, maka ia akan dikenai pidana maximal 1/3 x 18 th = 6 tahun.

b. Dimasukan kedalam “Lembaga Pemasyarakatan Anak” untuk di bina.

c. Dikembalikan kepada orang tuanya, untuk dididik.


b. Unsur Obyektif:

bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut haruslah perbuatan yang memenuhi syarat-syarat:

1. Memenuhi unsur-unsur dalam UU artinya bahwa perbuatan tersebut merupaka suatu perbuatan yang dilarang oleh UU. Jika perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak memenhui rumusan UU atau belum di atur dalam suatu UU maka perbuatan tersebut bukanlah perbuatan yang bisa dikenai ancaman pidana.

2. Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melawan hukum.

3. Tidak ada alasan pembenar; artinya bahwa meskipun suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku memenuhi unsur dalam UU dan perbuatan tersebut melawan hukum, namun jika terdapat “alasan pembenar”, maka perbuatan tersebut bukan merupakan “perbuatan pidana”.

Yang termasuk alasan pembenar adalah:

a. Perintah UU/ Jabatan; contoh : Seorang Polisi yang menembak kaki
penjahat yang melarikan diri. Meskipun tindakan Polisi menembak
tersebut perbuatan yang dilarang, namun karena hal ini dilakukan
perintah jabatan, maka tindakan tersebut bisa dibenarkan.

b. Overmacht; contoh : seorang bangunan yang roboh karena bencana
alam sehingga menimbulkan banyak korban. Meskipun pemilik
bangunan adalh pihak yang bertangungjawab atas robohnya bangunan, namun karena robohnya adalah akibat bencana alam, maka hal ini bisa dibenarkan.

c. Keadaan Darurat/ Daya Paksa.; contoh : seorang yang membela diri
karena terpaksa dengan melukai seorang yang telah menodongkan
pistol untuk membunuhnya, akan dibenarkan oleh UU.

KESIMPULAN:
Peristiwa pidana adalah peristiwa yang harus memenuhi dua unsur di atas yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif.


Senin, 16 Agustus 2010

ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA

1.     Alasan pembenar (sisi obyektif) - perbuatannya 

Alasan ini menghapuskan sifat melawan hukum. Diatur dalam KUHP : 
a.      Pasal 48, daya paksa 
b.      Pasal 49 Ayat (1), pembelaan terpaksa 
c.      Pasal 50, peraturan UU 
d.      Pasal 51 Ayat (1), perintah jabatan





2.     Alasan pemaaf (sisi sobyektif) - pelakunya. 
Alasan yang berkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab pelakunya. Pelaku dipandang tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. 

Diatur dalam KUHP :
a.      Pasal 44, tidak mampu bertanggungjawab
b.      Pasal 48, daya Paksa
c.      Pasal 49 Ayat (2) ,pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces)
d.      Pasal 50, peraturan UU
e.      Pasal 51 ayat (2), dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah

Alat bukti : surat, akta, keterangan para ahli (187 KUHP)
Barang bukti : Berupa barang

KEALPAAN (CULPA, SCHULD, NEGLIGENCE, SEMBRONO, TELEDOR)


ukurannya :
Akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku karena dia alpa, sembrono, teeledor, kurang hati-hati, atau kurang menduga-duga.

Pembagian kealpaan : 

1.      Kealpaan yang disadari
Pembuat dapat menyadari perbuatan beserta akibatnya, akan tetapi dia mempercayai dan berharap akibat itu tidak akan terjadi.

2.      Kealpaan yang tidak disadari
Pembuat tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya akibat yang seharusnya dia dapat menduga sebelum perbuatan dilakukan

Kesesatan atau kekeliruan


Salah kira, dwaling, ignorance, mistake adalah lawan dari kesengajaan. Bukan kealpaan. Ukurannya adalah keadaan batin yang disebut kesesatan atau salah kira.

Bentuk Kesesatan

1.     Mistake of fact atau error fact
Kesesatan yang menyangkut peristiwanya. Tidak dipidana.
2.     Mistake of law atau error iuris
Kesesatan mengenai hukumnya. Dapat dipidana.

KESENGAJAAN


Pengertian :
Mengkehendaki dan mengetahui (willens en wettens) perbuatan yang dilakukan

Teori Kesengajaan :
1.      Teori kehendak (wilstheorie), adanya kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur tindak pidana dalam UU
2.      Teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellings theorie), pelaku mampu membayangkam akan timbulnya akibat dari perbuatannya.

Bentuk atau tingkat kesengajaan :
1.      Kesengajaan sebagai maksud / tujuan (opzet als oogmerk)
Bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Contoh, A memukul B. Tentunya A menghendaki B sakit, akibat dipukul.
2.      Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn)
Contohnya, A bermaksud menembak B yang berada di dalam ruang kaca. Pecahnya kaca merupakan kesengajaan yang bersifat kepastian yang berdiri sebagai tindak pidana sendiri.
3.      Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (voorwaardelijk opzet)
Contoh, A bermaksud membunuh B dengan bom. Bom dipasang dirumahnya. Akibat ledakan bom memungkinkan sekali akan mengenai orang-orang selain B.

KEMAMPUAN BERTANGGUNGJAWAB (TOEREKENINGSVATBAARHEID)



Seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan kriminalnya adalah orang yang berkemampuan bertanggungjawab.

Kriteria mampu bertanggung jawab:

1.      Orang itu mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum
2.      Orang itu dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran yang dimilikinya.

Tidak mampu bertanggung jawab,

Memenuhi pasal 44 KUHP, yaitu :
1.      Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gila)
2.      Terganggu jiwanya karena penyakit.

Tidak mampu betanggungjawab untuk sebagian ditujukan kepada penderita penyakit jiwa :

1.      Kleptomanie      : suka mencuri barang-barang yang kecil (negatif)
2.      Pyromanie           : suka membakar
3.      Claustrophobie : takut berada di ruang sempit
4.      Nycotophobia    : takut pada kegelapan
5.      Gynophobia       : takut pada wanita
6.      Aerophobia        : takut di tempat tinggi
7.      Ochlophobia      : takut pada orang banyak
8.      Monophobia      : takut sendiri / sunyi

Kurang mampu bertanggungjawab.

Pelakunya tetap dianggap mampu bertanggungjawab, akan tetapi kekurangan itu dipandang sebagai faktor yang meringankan. Contoh, orang yang jiwanya kurang sempurna. Keterangan ini dikeluarkan oleh dokter jiwa.

Mabok (intoxication / dronkenschap)

1.      Mabok yang disebabkan oleh bukan kemauan sendiri maka tidak dipidana
2.      Mabok yang memang dikehendaki oleh si pelaku, maka dapat dipidana

KESALAHAN


Untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak kriminal, diperlukan syarat, yaitu orang itu harus mempunyai kesalahan atau dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Kesalahan itu tidak diatur dalam KUHP atau peraturan lain di luar KUHP, akan tetapi keberlakuannya tidak diragukan / diterima dalam kenyataan.

Istilah kesalahan :

1.      Tiada pidana tanpa kesalahan
2.      Nulla poena sine culpa
3.      keine strafe ohne schuld
4.      Geen straf zonder schuld

SIFAT MELAWAN HUKUM


Adalah salah satu unusr tindak pidana. Perbuatan yang bersifat melawan hukum artinya perbuatan itu masuk dalam rumusan  delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-udanng (KUHP).

Pembagian SMH :

1.     SMH formil
Suatu perbuatan bersifat melawan hukum, bila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam UU.
2.     SMH materiil
Suatu perbuatan bersifat melawan hukum, tidak hanya bila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai delik dalam UU, akan tetapi termasuk perbuatan di luar UU.

Contoh perumusan istilah SMH dalam UU :

1.      Melawan hukum
2.      Tanpa mempunyai hak untuk itu
3.      Tanpa izin
4.      Dengan melampaui kewenangannya
5.      Tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT) (3) Teori Generalisasi atau Teori Adekuat

Teori ini melihat peristiwa secara ante factum (in abstracto) atau sebelum kejadian. Ukurannnya : dari rentetan syarat itu ada perbuatan yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat, artinya menurut pengalaman hidup biasa atau perhitungan yang layak mempunyai kadar (kans) untuk terjadi akibat itu.

Dalam teori ini dicari sebab yang adaqueat untuk timbulnya akibat, Ad-aequare : dibuat sama. Oleh karena itu teori ini disebut teori adaequat atau adekuat atau Adaquanzttheorie.

Contoh ada atau tidaknya hubungan sebab-akibat yang adekuat adalah :

a.      Suatu pukulan yang mengenai hidung biasanya mengakibatkan hidung berdarah. Bila orang yang dipukul itu menjadi buta, maka kebutaan ini bukan adekuat. Akibat ini bersifat abnormal.
b.      Seorang pengendara mobil mengerem mendadak karena ada anak yang menyeberang. Kemendadakan ini mengakibatkan si sopir mendapat serangan jantung. Akibat serangan jantung ini bukan sebab adekuat karena anak menyebrang.
c.      Seorang gadis mengambil jambu batu dengan sebilah bambu. Jatuhnya jambu ini menimpa atap seng yang menimbulkan suara keras. Kekerasan suara ini ternyata mengakibatkan seorang ibu terkena serangan jantung dan meninggal. Akibat serangan jantung ini pun bukan sebab adekuat atas matinya si ibu tersebut.

Ukuran sebab :

a.      Penentuan Subjektif
Yang dianggap sebab ialah si pembuat mengetahui atau memperkirakan perbuatan yang dilakukannya itu dapat menimbulkan akibat semacam itu. (Von Kries)
b.      Penentuan Objektif
Keadaan atau hal-hal yang secara objektif diketahui atau pada umumnya diketahui bahwa suatu perbuatan (sebab) itu dapat menimbulkan  akibat. Bukan diketahui oleh si pembuat, melainkan pengetahuan hakim (Rumelin).

Terhadap kedua teori diatas dapat dimunculkan kasus sebagai berikut :

Seorang majikan sangat membenci pekerjanya, tetapi takut untuk mem-PHK-nya. Dia mengkehendaki pekerjanya mati. Pada saat hujun deras yang disertai petir, dia menyuruh pekerjanya pergi ke warung membeli rokok dengan harapan pekerjanya disambar petir. Harapannya terkabul karena pekerjanya mati tersambar petir. Apakah majikan tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas kematian si pekerja?

Menurut teori ekivalensi, dapat. Jika majikan tersebut tidak menyuruhnya keluar maka pekerja itu tidak mati. Pada umumnya konsekuensi teori ini terlalu luas.

Oleh karen itu lebih memuaskan memerapkan teori adekuat, yaitu pada umumnya perbuatan menyuruh irang ke tempat lain tidak mempunyai kadar untuk menyebabkan kematian seseorang karena disambar petir. Penyambaran petir merupakan kebetulan belaka. Dengan demikian tidak ada hubungan kausal, sehingga majikan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Kelemahan teori adekuat yaitu istilah-istilah yang dipergunakan tidak jelas seperti biasanya, kadar, pengalaman manusia pada umumnya, dsb. Penganut teori adekuat ini antara lain, simons, Karni, Pompe.

Kesimpulan :
Teori equivalensi dapat dikatakan sebagai teori kausalitas yang benar, akan tetapi perlu penambahan tentang ada atau tidaknya unsur kesalahan pada pembuat. Demikian pula teori adekuat dapat juga dikatakan sebagai teori yag sesuai dengan jiwa hukum pidana yaitu melindungi kepentingan umum terhdapa perbuatan yang membahayakan.

Kausalitas dalam perbuatan yang ”tidak berbuat”, misalnya :
a.      Seorang ibu membunuh bayinya dengan tidak menyusui
b.      Orang tua tidak melakukan tindakan apapun sewaktu anaknya dibunuh orang
c.      Seorang penjaga gudang membiarkan pencuri mengambil barang yang dijaganya

Pada awalnya perbuatan dengan cara ”tidak berbuat” timbul pertentangan, tetapi pada akhirnya diakui sebagai pandangan bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat.

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT) (2) Teori Individualisasi


Teori ini melihat peristiwa secara post factum (in concerto) atau setelah peristiwa kongkrit terjadi. Ukurannya dari rentetan kejadian dipilih sebab (faktor yang aktif atau pasif) yang paling menentukan dari peristiwa / kejadian tersebut. Sedangkan faktor yang lain hanya sebagai syarat saja.

Penganut teori ini :
a.      Birkmayer : Sebab adalah syarat yang paling kuat
b.      Binding : satu-satunya sebab adalah faktor atau syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif itu.

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT) (1) Teori Ekivalensi (equivalentie)

Persoalan hubungan sebab akibat (kasualitas) ini penting dalam menelaah delik materiil atau delik yang dikualifikasi oleh akibatnya, misalnya Pasal 187, 194 ayat (2) KUHP.

Kadang-kadang suatu perkara pidana sulit diidentifikasi mana yang menjadi sebab atau akibat. Untuk menentukan sebab dari suatu kejadian, maka timbullah beberapa teori kausalita. Teori-teori ini mencoba menetapkan hubungan secara obyektif antara perbuatan dan akibat.

Istilah teori ini dapat disebut Aquivalenztheorie atau Bedingungstheorie atau conditio sine qua non dari Von Buri. Teori ini merupakan pangkal dari teori kasulitas yang lain.

Teori Ekivalensi : Tiap syarat adalah sebab dan semua syarat itu nilainya sama karena kalau satu syarat tidak ada, maka akibatnya akan lain pula”.

Keunggulan teori ekivalensi ini adalah mudah diterapkan karena teori ini menarik secara luas pertanggungjawaban pidana.

Kritik atau keberatan yang muncul terhadap teori ini adalah hubungan kausal yang membentang ke belakang tanpa khir karena tiap sebab sebenarnya merupakan akibat dari sebab sebelumnya. Contoh, B ditikam A sampai mati. 

Yang menjadi sebab tidak hanya karena ditikam pisau oleh A, tetapi juga penjualan pisau kepada A, bahkan pembuatan pisau. Adanya kebertan ini yang mendorong teori-teori lain yang membatasi teori ekivalensi.


PERBUATAN (TAT-HANDLUNG HANDELING, GEDRAGING)

Unsur pertama tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan seseorang. Perbuatan meliputi berbuat atau tidak berbuat.

Pengertian Perbuatan :
1.      Simons, dalam arti yang sesungguhnya handelen (berbuat), mempunyai sifat aktif, tiap gerak yang dikehendaki dan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat
2.      Pompe, pPerbuatan itu dapat dilihat dari luar dan diarahkan pada suatu tujuan yang menjadi sasaran norma-norma

Untuk mengetahui perbuatan yang dilarang atau diperintahkan dapat dilihat dari kata kerja yang terdapat dalam rumusan delik yang bersangkutan

Ada sejumlah gerakan badan yang tidak termasuk perbuatan, antara lain :
1.      Gerakan badan yang tidak dikehendaki, daya paksa yang absolut (vis absoluta)
2.      Gerakan refleks
3.      Gerakan badan yang dilakukan dalam keadaan tidak sadar, misalnya karena penyakit seperti epilepsi, mengigau, gegar otak, mabok, berbuat pada waktu tidur, pingsan dan dihipnotis. Penentuan kualitas ketidaksadaran ini harus menghadirkan seorang ahli kedokteran kehakiman atau dokter.

TINDAK PIDANA (5) Subjek Tindak Pidana




Subjek tindak pidana dalam KUHP adalah manusia. Adapun badan hukum, perkumpulan atau korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana bila secara khusus ditentukan dalam UU (di luar KUHP).

Sedangkan mayat, hewan atau benda mati yang tidak dapat melakukan tindak pidana otomatis tidak dapat dituntut pidana sekaligus tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

TINDAK PIDANA (4) Jenis-Jenis Tindak Pidana



a.      Kejahatan dan pelanggaran

Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran disebutkan oleh UU. Buku II : Kejahatan buku III : Pelanggaran.

Ada dua pendapat :

1)     Perbedaan secara Kualitatif
a)      Rechtsdelict(en), artinya perbuatan yang bertentangan dengan keadilan.
Pertentangan ini terlepas perbuatan itu diancam pidana dalam suatu per-UU-an atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar-benar dirasakan masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan.
Misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut kejahatan (mala per se).
b)      Wetsdelict(en), artinya perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena UU menyebutnya sebagai delik. Delik semacam ini disebut pelanggaran (mala quia prohibita)

2)     Perbedaan secara Kuantitatif
Perbedaan ini didasarkan pada aspek kriminologis, yaitu pelanggaran lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan. Pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran terdapat pendapat yang menentang. Dalam RUU KUHP pembagian ini tidak dikenal lagi. Istilah yang dipakai adalah ”Tindak Pidana”

b.      Delik Formil dan Delik Materiil

Delik formil 
Delik yang perumusannnya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang oleh UU. Perwujudan delik ini dipandang selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti yang tercantum dlam rumusan delik. Misalnya, Pasal 156, 209, 263 KUHP.

Delik Materiil
Delik yang perumusannnya dititikbertkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini dikatakan selesai bila akibat yang tidak dikendaki itu telah terjadi. Bila belum, maka paling banyak hanya ada percobaan, misalnya : Pasal-pasal 187, 388 atau 378 KUHP.

c.      Delik Commissionis, Delik Ommissionis dan Delik Commissionis Per Ommissionem Commissa

Delik Commissionis
Delik berupa pelanggaran terhadap larangan, misalnya berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.

Delik Ommissionis
Delik berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / diuharuskan. Misalnya, tidak menghadap sebagai saksi di pengadilan (Pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531 KUHP).

Delik Commissionis Per Ommissionem Commissa

Delik pelanggaran larangan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misalnya : seorang ibu yang membunuh bayinya dengan tidak menyusui (Pasal 338 atau 340 KUHP)

b.     Delik dolus (Kesengajaan) dan delik culpa (kealpaan / kelalaian)

Delik dolus (Kesengajaan), misalnya Pasal 187, 197, 338 KUHP
Delik culpa (kealpaan / kelalaian), misalnya Pasal 195, 359, 360 KUHP.

c.      Delik tunggal dan delik ganda

Delik tunggal adalah delik yang dilakukan satu kali. Delik ganda adalah delik yang dilakukan berkali-kali, misalnya Pasal 481 KUHP (Penadahan).

d.     Delik yang berlangsung terus  dan delik yang tidak berlangsung terus

Delik yang berlangsung terus misalnya perampasan kemerdekaan seseorang (Pasal 33 KUHP)

e.     Delik aduan dan bukan delik aduan

Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya dilakukan bila ada pengaduan dari pihak yang terkena, misalnya  Penghinaan (Pasal 310 jo Pasal 319 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP), pemerasan (Pasal 335 ayat (1) sub 2 jo. Ayat (2) KUHP). Jo = juncto.

Delik aduan dibedakan :

1)     Delik aduan absolut, delik yang dapat dituntut atas dasar pengaduan
2)     Delik aduan relatif, dalam delik aduan ini ada hubungan istimewa antara pembuat dan korban.

* Aduan dan laporan digunakan dalam hukum pidana. Sedangkan gugatan digunakan dalam hukum perdata.

f.       Delik sederhana dan delik yang ada pemberatnya

g.     Delok ekonomi dan delik bukan ekonomi.

h.     Kejahatan ringan (Misal Pasal 364, 373, 375, dll)

TINDAK PIDANA (3) Rumusan Tindak Pidana


Syarat untuk memungkinkan adanya penjatuhabn pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam UU. Ini merupakan konsekuensi logis dar asas legalitas sebagai prinsip kepastian.

Perumusan delik dalam KUHP biasanya dimulai denga kata ”barangsiapa” kemudian diikuti penggambaran perbuatan yang dilarang atau yang tidak dikehendaki atau diperintahkan oleh UU. Penggambaran perbuatan ini tidak dihubungkan dengan tempat dan waktu, tidak kongkrit dan disusun secara skematis.

Misalnya, Pasal 338 KUHP menggambarkan secara skematis syarat-syarat yang harus ada pada suatu perbuatan agar dapat dipidana berdasarkan pasal (pembunuhan) tersebut.

Dalam setiap per-UU-an hukum pidana selalu disertai perumusan norma hukum dan sanksi. Perumusan normanya ada 3 (tiga) cara :

a.      diuraikan atau disebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatan (perbuatan, akibat dan keadaan yang bersangkutan, misalnya pasal 154, 281 dan 305.
b.      tidak diuraikan, tetapi hanya disebutkan kualifikasi delik, misal 297. 351. karen tidak disebutkan unsurnya secara tegas, maka perlu penafsiran historis (contoh: penganiayaan, tiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan ditujukan kepada orang lain yang mengakibatkan sakit atau luka). Cara ini tidak dibenarkan karena memunculkan penafsiran yang berbeda-beda sehingga tidak menjamin kepasatian hukum.
c.      penggabungan cara pertama dan kedua, misalnya pasal 124, 263, 338, 362, dll.

Penempatan norma dan sanksi ada 3 (tiga) cara :

a.      Penempatan norma dan sanksi sekaligus dalam satu pasal. Cara ini dilakukan dalam Buku II dan III KUHP kecuali pasal 112 sub 2 KUHP
b.      Penempatan terpisah, artinya norma hukum dan sanksi pidana ditempatkan dalam pasal atau ayat yang terpisah. Cara ini diikuti dalam peraturan pidana di luar KUHP.
c.      sanksi pidana talah dicantumkan terlebih dahulu, sedangkan normanya belum ditentukan. Cara ini disebut ketentuan hukum pidana yang blanko (Blankett Strafgesetze) tercantum dalam pasa 122 sub 2 KUHP, yaitu noramnya baru ada jika ada perang dan dibuat dengan menghubungkannya dengan pasal ini.

TINDAK PIDANA (2) Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan dalam kriminologis adalah [perbuatan manusia yang memperkosa / menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara kongkret.

Pengertian tindak pidana menurut Moeljatno dibedakan dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya orang. Dibedakan pula perbuatan pidana (criminal act) dengan pertanggungjawaban pidana (criminal reponsibility / liability). Moeljatno penganutpandangan dualistis yang berbeda dengan pandangan monistis

Pandangan dualistis

Pandangan yang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat (criminal responsibility atau mens rea). Mens rea : criminal intent atau sikap batin jahat.

Di negara yang menganut sistem Anglo Saxon berlaku asas atau maxim mens rea : ”Actus non facit reum nisi mens sit rea (an act does not make a person guilty, unless the mind is guilty)

Penganut pandangan dualistis adalah H.B. Vos, WPJ, Pompe dan Moeljatno, contohnya :

Moeljatno, unsur-unsur perbuatan (tindak) pidana :

a.      perbuatan manusia
b.      memenuhi rumusan UU (syarat formil : sebagai konsekuensi adanya asas legalitas)
c.      bersifat melawan hokum (syarat materiil : perbuatan harus betul-betul dirasakan oelh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat)
d.      Kesalahandan kemampuan bertanggungjawab tidak masuk sebagai unsure perbautan pidana karena unsur ini terletak pada orang yang berbuat.

Pandangan Monistis    

Keseluruhan syarat untuk adanya pidana merupakan sifat dari perbuatan.

Penganut pandangan monistis adalah : Simons, Van Hamel, E. Mezger, J. Baumann, Karni dan Wirjono Prodjodikoro. Definisi yang dikemukakan : tidak adanya pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, misalnya :

Simons, unsur-unsur tindak pidana :

a.      Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan)
b.      diancam dengan pidana
c.      melawan hukum
d.      dilakukan dengan kesalahan
e.      orang yang mampu bertanggungjawab.

Kesimpulan terhadap perbedaan antara pandangan monistis dan dualistis :

a.      Untuk menentukan adanya pidana, kedua pandangan ini tidak mempunyai perbedaan yang prinsipiil
b.      Bagi yang berpandangan monistis, orang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana
c.      Bagi yang berpandangan dualistis, orang yang melakukan tindak pidana belum mencukupi syarat untuk dipidana karena harus disertai pertanggungjawaban pidana yang ada pada diri orang yang berbuat.

Unsur-unsur tindak pidana pemidanaan menurut Sudarto :

Syarat pemidanaan -> pidana

Mencakup:

1.      Perbuatan
a.      memenuhi rumusan UU
b.      bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)

2.      Orang (Berupa Kesalahan / Pertanggungjawaban)
a.      mampu bertanggung jawab
b.      dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf)

TINDAK PIDANA (1) Istilah Tindak Pidana


a.      Strafbaarfeit
b.      Delik (delict)
c.      Peristiwa pidana (E. Utrecht)
d.      Perbuatan pidana (Moeljatno)
e.      Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum
f.       Hal yang dapat diancam dengan hukum
g.      Perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
h.      Tindak pidana (istilah ini merupakan pendapat Sudarto dan diikuti oleh para pembentuk UU)

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA (4) Asas Ubikuitas


Asas ini lebih berperan dalam menanggulangi masalah juridiksi yang ditimbulkan oleh internet. Misalnya Cyber Crime (Tindak Pidana di dunia maya) karena sistem hukum dan juridiksi nasional / teritorial mempunyai keterbatasan sehingga tidak mudah menjangkau pelaku tindak pidana di ruang maya yang tidak terbatas.

Untuk menghadapi kejahatan tanpa batas wilayah itu, dapat digunakan asas universal atau prinsip Ubikuitas (The principle of Ubiquity) atau Omnipresent (everywhere at the same time).  

Secara harfiah, ubikuitas artinya ada atau hadir di mana-mana.
Prinsip ubikuitas adalah prinsip yang menyatakan bahwa delik-delik yang dilakukan atau terjadi sebagian di wilayah teritorial negara dan sebagian di luar teritorial negara harus dapat dibawa ke dalam juridiksi setiap negara yang terkait.

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA (3) Tempat Terjadinya Tindak Pidana ( Locus Delicti)


Untuk menuntut seorang pelaku tindak pidana, maka harus pasti tentang waktu dan tempat terjadinya tindak pidana. Waktu untuk menentukan suatu UU itu dapat diterapkan atau tidak. Sedangkan tempat untuk menetukan UU Pidana Indonesia dapat diberlakukan atau tidak dan menentukan pengadilan yang berkompeten untuk mengadili orang yang melakukan tindak pidana (kompetensi relatif).

Untuk mendapatkan locus delicti ada 3 (tiga teori) : 

a.     Teori perbuatan materiil (jasmaniah). Tempat tindak pidana (locus delicti) ditentukan oleh adanya perbuatan jasmaniah yang dilakukan oleh si pembuat dalam mewujudkan tindak pidana itu.
b.     Teori instrumen (alat). Tempat tindak pidana ialah tempat bekerjanya alat yang dipakai oleh si pembuat.
c.      Teori Akibat. Locus delicti  adalah tempat terjadinya akibat di dalam delik itu.