YURISPRUDENSI (PUTUSAN HAKIM)
Yurisprudensi disebut juga Keputusan Hakim atau keputusan pengadilan. Istilah yurisprudensi berasal dari kata Jurisprudentia (Bahasa Latin), yang berarti pengetahuan hukum (Rechts geleerheid). Yurispudensi biasa juga disebut “judge made law” (hIkum yang dibuat pengadilan).
Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia, sama artinya dengan kata “Jurisprudentia” (Bahasa Belanda) dan “Jurisprudence” dalam bahasa Perancis yaitu, Peradilan tetap atau hukum peradilan.
Lain halnya dengan istilah Yurisprudence dalam bahasa Inggris, mempunyai arti Teori Ilmu Hukum = Algemene Rechtsleer = Generale Theory of Law. Dalam bhs Inggris istilah yang digunakan untuk menyebut pengertian yurisprudensi adalah case law atau judge made law.
Pada negara yang menganut sistem common law / anglo saxon, yurispiudensi diartikan sebagai Ilmo hukum
Pendapat tentang Yurisprudensi
Sedangkan Lemaire: yurisprudensi, ilmu hukum (doktrin) dan kesadaran hukum sebagai determinan pembentukan hukum.
Sukdino M : Yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya (judicature, rechtspraak) yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. ( Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan.hal.179,)
1.Yurisprudensi tetap keputusan hakim yg terjadi karena rangkaian keputusan yang serupa dan dijadikan dasar atau patokan untuk memutuskan suatu perkara (standart arresten)
2.Yurisprudensi tidak tetap, ialah keputusan hakim terdahulu yang bukan menjadi dasar bagi pengadilan (standart arresten)
Dasar Hukum Yurisprudensi di Indonesia
Pasal 22 A.B (Algemene Bepalingen Van Wetgeving voor Indonesie) berbunyi : “Bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan undang-undang yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
Pasal 16 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dengan kata lain, hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan.
Berdasarkan ketentuan pasal-paasal ini, terlihat jelas bahwa apabila undang-undang atau kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat di pakai untukj menyelesaikan perkara, seorang hakim mempunyai hak untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan perkara terrsebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yurispudensi adalah putusan hakim yang memuat peraturan tersendiri dan telah berkekuatan hukum yang kemudian diikuti oleh hakim yang lain dalam peristiwa yang sama.
Hakim bisa menciptakan hukum sendiri, sehingga hakim mempunyai kedudukan tersendiri sebagai pembentuk undang-undang selain Lembaga Pembuat Undang-undang.
Keputusan hakim yang terdahulu dijadikan dasar pada keputusan hakim lain sehingga kemudian keputusan ini menjelma menjadi keputusan hakim yang tetap terhadap persoalan/peristiwa hukum tertentu.
Seorang hakim mengkuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia sependapat dgn isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang sama.
Pembuat Undang-undang = hukum “inabstrakto” (secara umum)
Hakim = hukum “in concreto” (secara khas).
0 komentar:
Posting Komentar