Hukum pidana dapat didefinisikan sebagai keseluruhan peraturan yang
isinya menunjukkan peristiwa
pidana yang disertai dengan ancaman hukuman pada
penyelenggaranya.
Hukum Pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat.
Hukum pidana mempunyai keistimewaan yang sering dikatakan sebagai “Pedang Bermata Dua” artinya disatu sisi ia
berusaha melindungi kepentingan orang lain (umum), namun di sisi lain ia
menyerang kepentingan orang lain, yaitu dengan adanya hukuman yang
dijatuhkan pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana.
Unsur-unsur Hukum Pidana:
a. Unsur Subyektif : harus ada orang atau pelaku ; dimana pelaku tersebut
harus memenuhi syarat-syarat:
1. Bertanggung jawab
Sebab ada orang-orang yang hanya “bertanggungjawab
sebagian” karena penyakit yang dideritanya, sehingga orang-orang tersebut
dapat digolongkan menjadi orang-orang yang bertanggung jawab sebagian,
misalnya:
a. Kliptomani
adalah seseorang yang menderita penyakit suka mencuri.
Maksudnya ia tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya
perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh UU. Namun
tindakan ini dilakukan semata-mata karena penyakitnya. Seorang
Kliptoman tidak bertanggung jawab atas “pencurian” yang dilakukan, tetapi
ia akan dimintai pertangungjawaban apabila melakukan tindak
pidana lainya seperti membunuh, memperkosa dsb.
b. Pyromani adalah seseorang yang menderita penyakit
kejiwaan suka membakar.
Seorang pyromani tidak pernah menyadari bahwa
perbuatan “membakar benda/ barang miliki orang lain” adalah suatu
perbuatan pidana. Sehingga seorang pyromani tidak bertanggung jawab
atas perbuatannya melakukan “pembakaran” , namun ia tetap
bertangung jawab atas tindak pidana yang lainnya, misalnya mencuri,
membunuh dsb.
c. Nympomani
adalah seseorang yang menderita sakit kejiwaan suka berbuat tidak senonoh pada seorang wanita.
Seorang
nympomani tidak bertanggungjawab atas perbuatan “tidak senonoh” yang dilakukan, karena ia tidak menyadari bahwa perbuatan tersebut
sesungguhnya dilarang oleh UU. Namun seorang nympomani tetap
bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang lain, seperti merusak barang
milik orang lain, membunuh, mencuri, dsb.
d. Claustrophobi
adalah seseorang yang menderita penyakit kejiwaan dimana dia merasa ketakutan yang hebat apabila berada di
ruang yang sempit.
Seorang claustrphopie tidak bertanggungjawab
apabila dia melakukan sutau perbuatan pidana, seperti merusak pintu
untuk berusaha keluar di tempat yang sempit.
Catatan : Untuk menyakatan seseorang tidak bertangung
jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut di atas, maka
tentunya harus ada surat keterangan ahli (Psykolog) yang menyatakan bahwa
yang bersangkutan benar-benar menderita penyakit tersebut.
2. Tidak ada alasan pemaaf
Artinya bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan
pidana namun karena suatu alasan tertentu, maka perbuatannya tersebut
bisa dimaafkan.
Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah:
a. Gila
b. Belum dewasa/ belum cukup umur
c. Di bawah pengapuan.
Jadi apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana
tersebut memenuhi salah satu alasan di atas, maka perbuatan tersebut bisa
dimaafkan.
Menurut UU, anak yang belum dewasa melakukan suatu
perbuatan pidana, ada “Tindakan Tata Tertib” yang akan dilakukan
oleh negara antara lain:
a. Tetap menjalani pidana dengan ketentuan
pidananya adalah maximal 1/3 dari pidana pokok yang diancamkan kepadanya.
Misalnya: seorang anak usia 9 tahun melakukan pembunuhan (ps. 238 KUHP) yang
ancaman hukumannya 20 tahun, maka ia akan dikenai pidana maximal 1/3 x 18 th =
6 tahun.
b. Dimasukan kedalam “Lembaga Pemasyarakatan Anak” untuk
di bina.
c. Dikembalikan kepada orang tuanya, untuk
dididik.
b. Unsur Obyektif:
bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut
haruslah perbuatan yang memenuhi syarat-syarat:
1. Memenuhi unsur-unsur dalam UU artinya bahwa perbuatan
tersebut merupaka suatu perbuatan yang dilarang oleh UU. Jika
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak memenhui rumusan UU atau
belum di atur dalam suatu UU maka perbuatan tersebut bukanlah perbuatan
yang bisa dikenai ancaman pidana.
2. Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melawan
hukum.
3. Tidak ada alasan pembenar; artinya bahwa meskipun
suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku memenuhi unsur dalam UU dan
perbuatan tersebut melawan hukum, namun jika terdapat “alasan
pembenar”, maka perbuatan tersebut bukan merupakan “perbuatan pidana”.
Yang termasuk alasan pembenar adalah:
a. Perintah UU/ Jabatan; contoh : Seorang Polisi yang
menembak kaki
penjahat yang melarikan diri. Meskipun tindakan Polisi
menembak
tersebut perbuatan yang dilarang, namun karena hal ini
dilakukan
perintah jabatan, maka tindakan tersebut bisa dibenarkan.
b. Overmacht; contoh : seorang bangunan yang roboh karena
bencana
alam sehingga menimbulkan banyak korban. Meskipun pemilik
bangunan adalh pihak yang bertangungjawab atas robohnya
bangunan, namun karena robohnya adalah akibat bencana alam, maka hal ini bisa
dibenarkan.
c. Keadaan Darurat/ Daya Paksa.; contoh : seorang yang
membela diri
karena terpaksa dengan melukai seorang yang telah
menodongkan
pistol untuk membunuhnya, akan dibenarkan oleh UU.
KESIMPULAN:
Peristiwa pidana adalah peristiwa yang harus memenuhi dua
unsur di atas yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif.