Asas Legalitas mensyaratkan terikatnya hakim pada UU.
Demikian pula Hukum Acara Pidana agar dijalankan menurut cara yang telah diatur
dalam UU.
Ada 6 (enam) aspek dalam Asas Legalitas, yaitu :
a. tidak
dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut UU
b. tidak
ada penerapan undang-undang pidana secara analogi
c. tidak
dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan
d. tidak
ada kekuatan surut dari ketentuan pidana
e. tidak
ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang
f. penuntutan
pidana hanya menurut cara yang ditentukan UU
Asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin : Nullum
delictum, nulla poena, sine praevia lege poenalli.
Yang diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. ”Tiada suatu
peerbuatan dapat dipidana kecuali atas kekeuatan aturan pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Berdasarkan pasal diatas dapat dirinci:
a. suatu
tindak pidana harus dirumuskan atau disebutkan dalam per-UU-an Hukum Pidana
b. Per-UU-an
Hukum pidana ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana atau tidak boleh
berlaku surut (retro aktif)
Ketentuan ini menimbulkan 2 (dua) konsekuensi :
a. Perbuatan
seseorang yang tidak tercantum dalam UU tidak dapat dipidana. Hukum yang tidak
tertulis tidak berkekuatan untuk diterapkan
b. Adanya
Larangan menggunakan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak
pidana. Larangan ini berfungsi mencegah tindakan sewenang-wenang dari
pengadilan / penguasa.
Analogi : memperluas berlakunya suatu peraturan. Analogi
tidak sama dengan penafsiran. Macam-macam penafsiran :
a. Penafsiran
secara ekstensif (memperluas)
b. Penafsiran
secara teleologis (sosiologis)
c. Penafsiran
menurut tata bahasa (gramatikal)
d. Penafsiran
secara sistematis
e. Penafsiran
menurut sejarah terbentuknya peraturan (historis)
f. Penafsiran
otentik (Bab IX Buku I KUHP)
Hukum pidana tidak boleh berlaku aktif karena :
a. menjamin
kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa / pengadilan
b. Pidana
dipandang sebagai paksaan psikologis (psychologische dwang), artinya
penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat (tindak pidana) untuk
tidak berbuat karena adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak
pidana. Teori ini disebut teori paksaan psikis (Theorie des psychischen zwanges)
dari Anslem von Feuerbach.
Ketentuan tidak boleh berlaku surut dapat diterobos atau
dikesampingkan oleh pembentuk UU. Hal
ini berlaku asas : Lex posterior derogat legi priori (apabila ada dua ketentuan
yang sama tingkatannya, maka peraturan yang ditetapkan kemudian mendesak
peraturan terdahulu)
Pengecualian larangan berlaku surut diatur dalam pasal 1
ayat (2) KUHP. ”Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam
perundang-undangan, maka dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa).
Bila ada perubahan, maka timbul Hukum Transitoir, artinya
hukum yang harus diterapkan bila ada perubahan dalam per-UU-an. Hukum
Transitoir disebut Hukum peralihan karena mengatur peralihan dari hukum yang
lama ke hukum yang baru.
Bila ada perubahan per-UU-an:
a. Inggris
: Ketentuan yang diterapkan adalah peraturan yang masih berlaku pada saat delik
dilakukan
b. Swedia
: Peraturan baru
c.
KUHP
Indonesia : Berdiri di tengah-tengah. Dasarnya
adalah lex temporis delicti akan tetapi bila peraturan yang baru lebih
meringankan terdakwa, maka peraturan yang baru inilah yang berlaku.
1 komentar:
thx untuk infonya sangat membantu sekali
Posting Komentar