Perumusan delik dalam KUHP biasanya dimulai denga kata
”barangsiapa” kemudian diikuti penggambaran perbuatan yang dilarang atau yang
tidak dikehendaki atau diperintahkan oleh UU. Penggambaran perbuatan ini tidak
dihubungkan dengan tempat dan waktu, tidak kongkrit dan disusun secara
skematis.
Misalnya, Pasal 338 KUHP menggambarkan secara skematis
syarat-syarat yang harus ada pada suatu perbuatan agar dapat dipidana
berdasarkan pasal (pembunuhan) tersebut.
Dalam setiap per-UU-an hukum pidana selalu disertai
perumusan norma hukum dan sanksi. Perumusan normanya ada 3 (tiga) cara :
a. diuraikan
atau disebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatan (perbuatan, akibat dan
keadaan yang bersangkutan, misalnya pasal 154, 281 dan 305.
b. tidak
diuraikan, tetapi hanya disebutkan kualifikasi delik, misal 297. 351. karen
tidak disebutkan unsurnya secara tegas, maka perlu penafsiran historis (contoh:
penganiayaan, tiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan ditujukan kepada
orang lain yang mengakibatkan sakit atau luka). Cara ini tidak dibenarkan
karena memunculkan penafsiran yang berbeda-beda sehingga tidak menjamin
kepasatian hukum.
c. penggabungan
cara pertama dan kedua, misalnya pasal 124, 263, 338, 362, dll.
Penempatan norma dan sanksi ada 3 (tiga) cara :
a. Penempatan
norma dan sanksi sekaligus dalam satu pasal. Cara ini dilakukan dalam Buku II
dan III KUHP kecuali pasal 112 sub 2 KUHP
b. Penempatan
terpisah, artinya norma hukum dan sanksi pidana ditempatkan dalam pasal atau
ayat yang terpisah. Cara ini diikuti dalam peraturan pidana di luar KUHP.
c. sanksi
pidana talah dicantumkan terlebih dahulu, sedangkan normanya belum ditentukan. Cara
ini disebut ketentuan hukum pidana yang blanko (Blankett Strafgesetze) tercantum
dalam pasa 122 sub 2 KUHP, yaitu noramnya baru ada jika ada perang dan dibuat
dengan menghubungkannya dengan pasal ini.
0 komentar:
Posting Komentar