Senin, 16 Agustus 2010

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA (1) Berlakunya Undang-Undang Pidana Menurut Waktu (Asas legalitas)


Syarat pertama untuk menindak suatu perbuatan yang tercela (jahat) adalah adanya suatu ketentuan dalam UU Pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela tersebut yang disertai suatu sanksi.

Asas Legalitas mensyaratkan terikatnya hakim pada UU. Demikian pula Hukum Acara Pidana agar dijalankan menurut cara yang telah diatur dalam UU.

Ada 6 (enam) aspek dalam Asas Legalitas, yaitu :

a.      tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut UU
b.      tidak ada penerapan undang-undang pidana secara analogi
c.      tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan
d.      tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana
e.      tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang
f.       penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan UU

Asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin : Nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenalli.
Yang diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. ”Tiada suatu peerbuatan dapat dipidana kecuali atas kekeuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.

Berdasarkan pasal diatas dapat dirinci:

a.      suatu tindak pidana harus dirumuskan atau disebutkan dalam per-UU-an Hukum Pidana
b.      Per-UU-an Hukum pidana ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana atau tidak boleh berlaku surut (retro aktif)

Ketentuan ini menimbulkan 2 (dua) konsekuensi :

a.      Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam UU tidak dapat dipidana. Hukum yang tidak tertulis tidak berkekuatan untuk diterapkan
b.      Adanya Larangan menggunakan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana. Larangan ini berfungsi mencegah tindakan sewenang-wenang dari pengadilan / penguasa.

Analogi : memperluas berlakunya suatu peraturan. Analogi tidak sama dengan penafsiran. Macam-macam penafsiran :

a.      Penafsiran secara ekstensif (memperluas)
b.      Penafsiran secara teleologis (sosiologis)
c.      Penafsiran menurut tata bahasa (gramatikal)
d.      Penafsiran secara sistematis
e.      Penafsiran menurut sejarah terbentuknya peraturan (historis)
f.       Penafsiran otentik (Bab IX Buku I KUHP)

Hukum pidana tidak boleh berlaku aktif karena :

a.      menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa / pengadilan
b.      Pidana dipandang sebagai paksaan psikologis (psychologische dwang), artinya penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat (tindak pidana) untuk tidak berbuat karena adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana. Teori ini disebut teori paksaan psikis (Theorie des psychischen zwanges) dari Anslem von Feuerbach.

Ketentuan tidak boleh berlaku surut dapat diterobos atau dikesampingkan oleh pembentuk UU.  Hal ini berlaku asas : Lex posterior derogat legi priori (apabila ada dua ketentuan yang sama tingkatannya, maka peraturan yang ditetapkan kemudian mendesak peraturan terdahulu)

Pengecualian larangan berlaku surut diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP. ”Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, maka dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa).

Bila ada perubahan, maka timbul Hukum Transitoir, artinya hukum yang harus diterapkan bila ada perubahan dalam per-UU-an. Hukum Transitoir disebut Hukum peralihan karena mengatur peralihan dari hukum yang lama ke hukum yang baru.

Bila ada perubahan per-UU-an:

a.      Inggris : Ketentuan yang diterapkan adalah peraturan yang masih berlaku pada saat delik dilakukan
b.      Swedia : Peraturan baru
c.      KUHP Indonesia : Berdiri di tengah-tengah. Dasarnya adalah lex temporis delicti akan tetapi bila peraturan yang baru lebih meringankan terdakwa, maka peraturan yang baru inilah yang berlaku.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

thx untuk infonya sangat membantu sekali